Kamis, 17 Agustus 2017

Dari Generasi ke Generasi

 
Memeriksa ibu hamil (bumil)dalam Ante Natal care (ANC) terpadu adalah tugas harianku disamping memeriksa pasien umum.
Ini bisa dilakukan di Puskesmas,di pustu, polindes , praktek pribadi dan bahkan di rumah pasien atau di tempat tertentu apabila diperlukan.
Singkatnya, aku bertugas memastikan bahwa bumil terlayani oleh bidan sesuai standar kebidanan,bumil resiko tinggi terdeteksi dini dan bumil dengan komplikasi terkawal &terpantau dengan cermat, yang pada akhirnya aku mengemban tugas besar pemerintah Indonesia agar tidak malu di mata dunia yang sempat menyebut bahwa kalau mau mencari kuburannya para Ibu, maka Indonesia lah tempatnya.
Dalam melaksanakan tugas, aku dibantu banyak pasukan, bidan &perawat desa, bidan koodinator, tenaga promosi kesehatan,nutrisionis, sanitarian,driver hingga Spesialis Kandungan & Kebidanan yang setia menerima dan menjawab surat konsulku.Walaupun capek, tapi aku menemukan keasyikan dibalik aktivitas ini, yaitu pada akhirnya aku bisa merekam wajah tiga generasi.
Suatu saat aku kedatangan bumil ,sebut saja Mariam. Usianya 28 tahun, 10 tahun lebih muda dariku.Ia memeriksakan kandungannya yang ketiga sementara anak keduanya berusia 7 tahun .Melihat usianya yang masih amat muda dengan penasaran kutanyakan apakah kehamilan ini diinginkan atau "kebobolan KB nya"  Ia menjawab mantap bahwa kehamilan ini sudah direncanakan. Suaminya adalah buruh serabutan. Tambah penasaran lagi kutanyakan ," Terus anak pertama sampean umur berapa sih ?"
Dengan entengnya Mariam menjawab , "Usia nya 15 tahun bu dokter"
Whattttt,..??aku kaget dalam hati," Itu artinya , sampean hamil anak pertama usia 13 tahun, baru lulus SD mbak?"
"Enggeh ,..bu dokter " Mariam menjawab dengan tenangnya. Seakan tak ada yang salah dari percakapan kami. Dan keesokan harinya Ibunya Mariam kebetulan berobat ke rumah dan bercerita bahwa anak pertama Mariam tidak melanjutkan ke SLTP dan memilih bekerja di kota.
"Oalah,...Kerja apa ya buk, lulusan SD gitu?" tanyaku pada Ibu mariam
"Nggeh buruh bu dokter,..." Ibu Mariam menjawab dengan tenang seakan tak ada masalah apapun dari apa yang diucapkan dan dilakoninya.
Ibuku lulusan SD. Ibuku berpesan padaku untuk punya kehidupan lebih baik dan bersekolah lebih tinggi sehingga Ibu mati-matian bekerja menguliahkanku hingga lulus menjadi seorang dokter. Aku kini seorang dokter,dan aku berharap anak-anakku mempunyai pencapaian lebih tinggi dari aku, terutama dalam memberi karya nyata dan kemanfaatan bagi masyarakat & bangsa. Kini aku mengahadapi 3 generasi yang stagnan, Dari seorang lulusan SD, mempunyai anak lulusan SD, dan cucunya lulusan SD.Terus terang aku menjadi risau dengan hal seperti ini.
Kapan hari, aku sempat berpartisipasi dalam program disnaker,yaitu membentuk shelter anak drop out sekolah. Ini semacam camp sebulan, yang membekali anak-anak drop out sekolah dengan latar belakang masing-masing agar termotivasi kembali mengikuti program KEJAR PAKET. disinilah aku tahu bahwa permasalahan anak-anak DO sekolah ini beragam & kompleks. Ada yang melarat,...... banget. Untuk ke SMP aja dia harus jalan kaki naik turun lembah berkilo-kilo. Karena anak perempuan , maka ia pulang pergi di antar ibunya. Menginjak kelas 3 SMP si anak menyerah karena tak tega melihat ibunya kelelahan.Saat anak ini rawat inap di puskesmas, aku bertemu dengan ayah ibunya.  Ku tanyaka n kenapa ndak naik motor kalau sekolah biar ngga ksampai drop out., dengan malu setengah menunduk ayahnya bilang bahwa ia belum mampu membeli motor. Dari memoriku melayani pasien, orang tua anak ini sangat sopan,jauh lebih sopan dari orang yang mengaku terhormat yang pernah kulayani di sebuah UGD RSU dan selalu protes mengancam lapor bupati bila dikenai biaya .Dan sempat-sempatnya ia bertanya dengan sopan saat akan keluar opname, total semuanya habis berapa bu dokter? Oalaahhhh,....
Dari permasalahan ini aku sempat  diskusi dengan tokoh masyarakat dan pengelola PKBM  setempat , sebenarnya ada solusi yang bisa  membiayai sekolah,seragam, buku dan lain-lain, tapi uang transport tidak ter cover sehingga si anak harus mau "mondok" di pesantren. Hal ini tak selalu disetujui orang tua.
Ada juga anak-anak yang DO ini lantaran orang tua nya tak mampu membelikan motor baru. Di wilayah pegunungan, motor memang transportasi andalan.
Balik lagi dengan fenomena Mariam dan anak-anak yang pendidikannya kurang. Berapa banyak hal ini terjadi di sekitar kita?Apakah program-program pemerintah sudah tajam menukik ke permasalah ini dan solusi yang ditawarkan sudah tepat sasaran? Tentu saya berharap keberadaan saya di wilayah ini bisa memberikan kontribusi pada mereka. Aku tak membayangkan sama sekali,harapan -harapan capres kita akan terwujud bila Mariam kembali mengkader keturunan baru lulusan SD.
Wallahua'lam bis Shawwab

Dunia Indahku ,Juga Milikmu

Bagaimana mungkin aku bisa memicingkan mataku malam ini. Di belahan bumi lain aku tahu bahwa seorang anak kecil sedang mengerjap-kerjapkan matanya dengan pasrah tanpa harapan. Sebulir air mata bening menggenang di sudut matanya yang bulat dan tanpa dosa. Dibeberapa sudut bibir dan hidungnya tampak krustae kering bekas lendir ingus yang menempel berhari-hari. Apabila tersentuh, kruste itu akan mengelupas dan mengeluarkan sedikit darah. Ia mungkin sedang tidur di atas dipan tua,lusuh berselimut sarung kakeknya yang gimbal dan bau. Mungkin nyamuk – nyamuk berseliweran sambil kebingungan menyingkirkan udara Gucialit yang terlalu dingin untuk anak seusianya.
Suatu siang yang amat biasa dan nyaris tanpa kesan seorang wanita kurus datang mengunjungi poli umum tempatku mengabdikan ilmu di sebuah desa di kawasan Tengger Lumajang. Rambut lurusnya digelung dengan galau karena saking tipisnya. Kulitnya kecokelatan patologis, cokelat yang kering dan aneh. Sebagai dokter yang setiap hari bertemu beraneka macam pasien dalam kurun waktu sembilan tahun sejak kebebasan pers dirasakan oleh bangsa ini,aku sudah bisa memperkirakan penyakit wanita seumuranku ini. Sesi anamnesa yang menjadi momentum rutin tetapi langka karena merupakan the one and only dalam setiap episode ribuan tatap muka kulalui dengannya walau masih agak kaku dan formal. Ia agak tertutup. Apalagi bila kusinggung perihal kehidupan pribadi bersama suaminya. Tak sekalipun ucapan buruk mengenai suaminya meluncur dari mulutnya. Sekali waktu ego ku sebagai wanita keluar dengan mengeluarkan gaya pertanyaan investigative bak anggota Crime Scene Investigation (CSI). Mengerucutkan sebab dan akibat dari kenapa ia semakin kurus,batuk lama, diare terus menerus dan nafas ngos-ngos an. Kalau sudah seperti itu, aku akan mengeluarkan jurus pamungkas bertanya apakah ia mengeluarkan darah putih yang berbau dan apakah kehidupan seksualnya bermasalah. Ia akan diam terpekur,dan aku akan sibuk berdiri mencari alasan mengambil ini dan itu dengan sesekali melirik nya menunggu ia siap menjawab dan menerima pertanyaan selanjutnya.
Sesudah pertemuan pertama yang amat membekas itu, aku rutin menuliskan rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk wanita itu ke Poli Voluntary Consulting & Testing(VCT) . Pada tiga sampai empat kunjungan awal, aku minta tolong pada perawat ponkesdes desa setempat untuk mengantarnya, karena kondisi tubuhnya yang lemah dan ketidaktahuannya akan prosedur rumah sakit.
Lalu beberapa pertemuan berikutnya aku bertemu dengan wanita ini dalam kondisi yang lumayan bugar dengan senyum merekah. Ia menyodorkan hasil test HIV dan tertulis Reaktif Obrolan beralih pada cerita anaknya yang masih bayi dan dirawat oleh mertuanya. Sedangkan anak pertamanya ternyata kemudian terdaftar sebagai balita gizi buruk yang kami rawat. Ceritanya yang amat bersemangat membuatku tersenyum tipis. Jauh diruang hatiku yang jarang tersentuh, aku merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara harap dan cemas. Yang pada akhirnya aku telah dididik orang tua ku untuk meletakkan rasa yang aneh itu pada area antara tawakkal dan optimis.
Pada suatu pagi tanpa kesan berikutnya, aku bertemu dengan seorang pria bugar yang bicara dengan tegas dan sangat sumringah yang mengaku suami wanita ini. Setengah tak percaya aku minta dokumen kependudukan dan kartu JKN nya.Dan sambil melirik mengamati pria itu dari ujung rambut sampai kaki aku langsung bertanya berapa lama ia menikah dengan wanita ini. Yes,..clear ternyata ia teman hidup satu – satunya wanita ini sejak tujuh tahun yang lalu. Mukaku terasa ditampar berkali-kali, mengingat wanita itu. Hah…masak sih????....Suami wanita ini masih segar bugar sementara ia…..
Akhirnya pria ini aku rujuk pula ke VCT rumah sakit Kabupaten. Pada kunjungan bulan – bulan berikutnya mereka datang berdua dan kuanggap sambil kuhibur diriku sendiri bahwa mereka pastilah saling mendukung satu sama lain. Kondisi kesehatan si wanita ini naik turun pada kunjungan berikutnya . Sampai akhirnya si pria datang sendirian karena ternyata istrinya telah meninggalkannya selama – lamanya. Tanpa beban ia berpamitan padaku untuk kembali bekerja di Bali. Namun aku minta satu syarat bahwa ia harus membawa kedua anaknya terlebih dahulu untuk periksa ke VCT sebelum berangkat ke Bali. Di luar dugaanku ia langsung menuruti permintaanku begitu saja.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Kami melupakan kisah itu. Dan sebagai tim pelayanan kesehatan terpadu di Puskesmas kami mulai fokus pada status kedua anak balita dan bayi yang ditinggal bersama neneknya dengan berbagai macam program pemulihan gizi. Tak lupa dengan segala upaya celah pembiayaan kami kontrol kesehatan anak ini ke VCT tiap enam bulan sekali. Suatu hari aku bertemu dengan nenek kedua balita ini yang menceritakan bahwa ayah kedua anak ini sudah meninggal menyusul ibunya. Begitu cepat si Bapak menyusul isterinya ke alam baka. Sekitar satu setengah tahun sesudahnya. Aku jadi teringat nada intro lagu “ Kepastian” milik Reza Artamevia dan itu membuatku dadaku agak sakit menahan bulir air mata. Kata guruku saat aku duduk di bangku tua di gedung Universitas Kedokteran bergaya arsitektur Belanda di Surabaya , dokter tak boleh larut didepan pasien apalagi sampai mbrebes mili seberapapun mengharu birunya kisah pasien yang kita lihat dan kita dengar ,karena akan melemahkan semangat hidupnya. Tapi dokter harus empati terhadap pasien. Berada di area antara membangkitkan semangat dan menumbuhkan secercah harapan pada pasien bagaimanapun parah penyakitnya. Berada di antara keterbukaan akan penyakit, komplikasi yang akan mungkin terjadi dan menumbuhkan motivasi bahwa penyakit apapun bisa disembuhkan adalah sulit,…sangat sulit. Sesulit saat awal awal kita ditempatkan di pelosok desa,..sendirian ,,,tanpa sejawat dokter lain dan saat itu harus menyampaikan pada keluarga pasien bahwa upaya resusitasi jantung paru yang kita upayakan tidak berhasil,…dan kita akan mengucapkan kalimat , Dengan amat menyesal kami sampaikan bahwa keluarga anda telah meninggal dunia.” Kalimat rutin yang harusnya menjadi ringan karena sudah kita ucapkan ribuan kali. Tapi kenyataannnya tidak demikian. Dan dalam setiap lantunan doa sesudah sholat tak lupa aku selalu berdoa agar Allah senantiasa memudahkan lisanku untuk menyampaikan kebaikan pada pasien-pasienku.
Maka kalau sudah seperti itu aku akan pura –pura sibuk menulis apa saja sampai rasa sesakku hilang dan siap berkomunikasi lagi dengan keluarga pasien.
Dua setengah tahun sudah berlalu sejak kali pertama aku mengenal wanita ini . Kini kami diamanahi dua balita yang harus kami rawat dengan kemungkinan penularan HIV-AIDS. Menjaga gizinya, menjaga tumbuh kembangnya, sehingga apabila toh ternyata ada virus Human Immunodeffisiency Sindrome yang berhasil menyusup pada tubuh anak ini, mereka tidak sampai kalah. Kami juga harus ikut memikirkan bagaimana kondisi ekonomi kakek nenek mereka yang lemah tidak sampai membuat virus HIV bersekongkol dengan kemiskinan dan membuat dua balita ini terserang AIDS. Semua kami anggap menjadi tanggung jawab kami karena dua orang tua nya didatangkan oleh Tuhan di hadapan kami hingga mereka menghadap sang khalik. Kami akan bertekad memaksa stakeholder terkait untuk ikut memikirkan mereka, termasuk hak – hak sipil kedua anak ini.
Bagaimana saya bisa tidur lelap,..sebelum hak hidup , hak sehat dan hak bergembira mereka rasakan selagi menjadi anak-anak. Seperti kegembiraan yang saya rasakan saat masa kecil yang indah.
.Ima Rifiyanti –Ditulis dalam rangka memperingati hari HIV-AIDS sedunia,…jauhi penyakitnya jangan jauhi penderitanya. (Kasus yang diangkat adalah fiktif )

AKU BERKERAS MENCINTAIMU (Sebuah Puisi)

AKU BERKERAS MENCINTAIMU 

Dibuat dari apakah segumpal daging
Yang bernama HATI ini
Dia indah 
Dibungkus lumuran darah

HATI ku ini
Telah diciptakan Nya untuk mu ,....
Tak terbantahkan ,karena tak muat kuuntai kata
Walau kau panggil penyair Persia

Detaknya menyanyikan Cinta
Hangatnya energi kan Cinta
Bagai sang Jibril yang merasakan panas jantung sang Nabi
Berdenyar di genggaman tangannya

Aku tak peduli 
Mau kamu apa,...Sayang
Karena akupun tak kuasa
Menghentikan degup kencangnya

Aku tak butuh Kata
Aku tak butuh pengakuan
Aku tak butuh pencitraan 
Untuk bersikeras mencintaimu




 

Jumat, 07 Agustus 2015

KETIKA RUTINITAS MENJADI KARAKTER

Hari ini Ferdussi mendapatkan babak baru dari kegiatan latihan karate yang selama ini dilakukan. Ha tersebut adalah  terbentukya karakter siap mental dan fisik setiap saat dibutuhkan. Kesiapan ini adalah sebuah miniatur dari kebutuhan hidup yang ingin kami jadikan bekal untuknya kelak. Artinya, sesudah mendapatkan contoh nyata dalam dunia karate, hal itu akan kami transfer ke dunia nyata dengan harapan ia akan mudah memahami bahwa pendidikan karakter, akhlaq baginya bukan lagi sebuah instruksi tapi sebuah kebutuhan.Metode ini kami temukan secara tidak sengaja. 
Berawal dari padatnya kesibukan ayahnya di sekolah tempat mengajar, yang kebetulan sebagai pelatih karate Ferdussi . Kesibukan ayah membuat kami enggan dan malas untuk mengikuti kejuaraan nasional Piala Walikota Surabaya yang digelar pada 7 Agustus 2015 silam. Selain itu kami sebagai orang tua memang amat pemilih dalam mengikutkan Ferdussi dalam sebuah event turnamen. Kami punya pertimbangan sendiri dalam memilih turnamen yang diikuti, dan faktor - faktor apa yang mempengaruhinya.
Maka tak heran sepanjang 5 tahun Ferdussi belajar karate praktis hanya pernah mengikuti 9 kali turnamen.
Akan tetapi cerita berkata lain. Pada tanggal 4 Agustus kami memutuskan untuk mengikuti turnamen. Tanggal 5 Agustus bunda bertugas sebagai manajer, pontang panting melengkapi berkas persyaratan pendaftaran, daftar on line, minta surat rekom FORKI cabang, menyiapkan akomodasi transportasi dan lain-lain. Dari segi kesiapan , praktis ini adalah turnamen yang mana Ferdussi paling minim persiapan. Kami merasa tanpa beban , karena kali ini kita mengikuti turnamen relatif untuk having fun saja. Tanggal 6 pagi ayah dan kakak baru menemui ketua FORKI Lumajang, dan langsung mampir cukur rambut. Pada pukul 9 pagi Ferdussi dan ayah berangkat , turun gunung naik spin kesayangan, lalu menitipkan spin di penitipan sepeda di terminal wonorejo, dan berpindah naik bis patas.
Menunggu kedatangan kakak Ferdussi di rumah, hal yang selalu dipikirkan bunda adalah kesehatan kakak. Bunda tidak ada target apapun, apalagi kali ini kakak Ferdussi minim persiapan dan ayah menjajal KATA baru yang baru dilatih kurang dari seminggu yaitu UNSHU. Biasanya , masterpiece Ferdussi di final adalah bermain KATA GAN KAKU. Bunda pesimis, karena biasanya sebelum turnamen Ferdussi menyiapkan KATA untuk final dengan melatih gerakan 3 kali sehari selama satu bulan penuh, tapi kali ini Ferdussi baru berlatih UNSHU kira-kira 4 hari dan KATA itulah yang akan dipakai di FINAL bila tembus. 
Pada tanggal 7 Agustus bunda menunggu dengan cemas. Walau tanpa beban tanpa target, bunda selalu cemas bila kakak Ferdussi bertanding. Kecemasan bunda lebih memikirkan akan kesehatan kakak Ferdussi dan ketahanan mental dalam menghadapi kekalahan. Maka dari itu bunda jarang sekali ikut kakak Ferdussi bertanding ke luar kota.
Pukul 16.30 WIB kakak Ferdussi telpon mengabarkan bahwa kakak dapat juara 2, kalah dari atlit Kalimantan Selatan . Wah...bunda surprise dan hari itu bunda mendapat pelajaran penting dalam mendidik anak.
Bahwa, dalam mendidik karakter yang sulit dimengerti lewat teori, kata-kata , yang paling penting adalah MELAKUKAN nya. Dengan latihan konsisten baik ada turnamen ataupun tidak ada turnamen, FERDUSSI menjadi siap kapanpun bertanding, karena karate sudah menjadi refleks.
Pelajaran yang paling penting berikutnya adalah ,dengan tidak terlalu menyiapkan diri dalam mengikuti turnamen, kami dengan sendirinya menyisipkan pesan halus pada Ferdussi bahwa turnamen itu ngga penting-penting amat. Dan saat itulah kami bisa memasukkan wawasan ilmu hakikat dalam ilmu karate, dimana untuk anak usia 10 tahun tentunya tidak mudah menyisipkan sesuau yang bermuatan hakikat.
Satu hal yang menjerumuskan seorang anak yang diberkahi kejeniusan dalam bidang tertentu adalah, manakala dalam proses menjadi master super dalam bidang itu, ia terlena akan tujuan dan hakikat untuk apa hal itu dilakukan? apa dampak dan manfaat bagi dirinya, orang terdekat yang mengasihinya dan masyarakat serta umat. Dan lambat laun ia akan diperbudak oleh konsumen kesenangan dunia.
Lebih jauh bunda , yang walaupun bukan master dalam karate pernah mencetuskan kekhawatiran. Bahwa hedonisme sudah merambah ke segala arah, bahkan tidak muncul dalam bentuk yang glamour tapi muncul juga dalam wajah nyantri, alim, sporty dan nyeni. Seorang aktris yang merepresentasikan wanita musilmah berkecukupan malah merepresentasikan hedonisme,menjual produk fashion dan kosmetik puluhan juta rupiah. Dalam dunia karate, bunda berandai-andai dan memprediksikan 
Ferdussi (kanan) Bersama Muh. Fahri , sang juara dari Banjarmasin
jangan jangan 3-4 tahun ke depan kejuaraan karate diselingi musik, He,..he,..he...

Selasa, 01 Maret 2011

Pengalaman Pertama Melukis Di Atas Kanvas

Setelah kurang lebih  4 tahun Ferry.Jr corat-coret di atas kertas (belum sempat up load portofolionya),kali ini Ayah memberi lampu hijau pada Ferry,Jr untuk melukis di atas kanvas. Sudah sejak lama sih,dia minta, tapi karena beberapa pertimbangan (termasuk biaya yang tidak cukup murah juga ,he,..he,..) baru kali ini Ayah meluluskan permintaannya.
Sebelumnya , Ferry,Jr. diminta membuat sketsa pendahuluan di kertas untuk membangun visi saat dia melukis. Keesokan harinya Ferry,Jr sudah siap untuk membuat sketsa pensil langsung di atas kanvas. Ayah belum membolehkan Ferry,Jr mencampur cat akrilik sendiri,jadi Ayah yang bertugas meramu cat akrilik warna dasar menjadi warna yang diminta Ferry,Jr. Mulailah dengan asyik Ferry,Jr menuangkan imajinasinya di atas kanvas ditemani guru privat, Ayah. Lokasi melukis di ruang tamu sekaligus ruang terima praktek dokter Bunda, karena ruang itulah satu-satunya lantai berkeramik yang asyik buat "ndeprok" . Begini nih,situasinya
Belajar melukis di atas kanvas pertama kali bersama Ayah
Kebetulan Bunda bisa temani Ferry,Jr  melukis sepulang kerja,jadi tambah semangat deh nglukisnya.
Setelah selesai dan setengah kering Ayah masih memberikan arahan finishing di luar imajinasi Ferry,Jr sendiri,tapi yang melakukan tetap Ferry,Jr sendiri lho!!!! Finishing touch anjuran Ayah antara lain membuat titik-titik merah di antara rerimbunan rumput dan pohon dengan menggunakan lidi yang ditotolkan ke dalam cat akrilik. Oh ya cat akrilik yang kami gunakan jenis yang murah.Belinya botolan 3 warna primer. Harganya macam-macam. Ada yang Rp 24.000,- per botol ada yang lebih mahal terhantung merk nya. Trus dari warna primer Ayah mencampurnya menjadi warna-warna yang dikehendaki Ferry,Jr. "Besok-Besok,kalau melukis lagi Ferry,Jr. juga harus bisa mencampur warna sendiri." kata Ayah



Bunda temani Ferry,Jr melukis sepulang dari Puskesmas
Setelah lukisan Ferry Jr jadi,Bunda tanya mau diberi judul apa? Ferry,Jr bilang judulnya RACING CAR. "He,..he,..
masa racing car mobilnya cuma dua?yang satu salah jalan lagi?"
"Iya Bun,mobil "kotrik"-nya terjebak rumput.
"Oke de,..."
Tapi setelah dipikir-pikir ia mengimbuhkan , "Apa enaknya diberi judul "KOTA GUCIALIT" aja ya?"
Gucialit adalah nama desa kami.Situasinya memang pegunungan. "Yah,..boleh juga,..."
" Nanti lukisannya Ferry di masukkan katalog di sebelahnya Ayah ya?"ia menunjuk salah satu katalog pameran Ayah.
Ferry,jr berpose bersama karyanya
Mmmmh,........
Karya Ferdussi : "KOTAGUCIALIT" akrilik on canvas

Senin, 28 Februari 2011

Ultah Ayah


Beberapa waktu lalu di bulan Februari , aku&Ferdussi merencanakan perayaan ultah ayah secara sederhana. Ferdussi mengusulkan agar aku membuat kue donat kesukaan ayah. Ditengah-tengah proses pembuatan ia punya ide membentuk angka 33 sesuai usia ayah. Ferdussi terlibat aktif dalam proses pembuatan donat,mulai dari awal, sampai pencetakan. Bagian yang paling ia suka saat membentuk donat aneka bentuk. Adonan donat menjadi semacam clay yang dibentuk menjadi wajah ayah, wajah uti, UFO dan lain sebagainya. Bentuknya tentu acakadut tak karuan. Tapi ia senang sekali, apalagi setelah digoreng dan membuat pesta kecil-kecil untuk ayah. Surprisedd,.....!!!!!!

Sabtu, 26 Februari 2011

Eksperimen Biji Kedelai

Terinspirasi oleh Bu Maria & Pandu , (http://pandu.punyaweb.co.cc/)Kali ini saya & Ferdussi bereksperimen bersama meneliti bagaimana proses biji-bijian tumbuh menjadi tanaman.


Pada saat saya  SD kalau tidak salah ingat,saya mendapatkan materi ini di kelas 3. Tapi saya memberikannya pada Ferdussi sekarang (usia 51/2 tahun) karena keingintahuannya pada tanaman demikian besar. Maklum, saya seringkali mengajaknya mencari benih tanaman di kebun & menyebarnya di polybag. Beberapa tanaman kami sudah tumbuh subur,bahkan barusan kami panen kemangi di belakang rumah untuk pengharum sup ikan gurami.
Wah ternyata Ferdussi antusias sekali mengikuti perkembangan biji kedelai yang kami tanam dari hari kehari. Tepat hari ke 5 tangkai dan daun muncul dengan cantiknya. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengelaborasi proses ilmiah itu dalam kekuatan spiritual yang sangat kami harapkan untuk dimilikinya kelak. Mudah-mudahan Allah yang maha berilmu memberikan jalan pikiran yang jernih & lancar bagi kami orangt tuanya untuk membimbingnya .Amin