Kamis, 17 Agustus 2017

Dunia Indahku ,Juga Milikmu

Bagaimana mungkin aku bisa memicingkan mataku malam ini. Di belahan bumi lain aku tahu bahwa seorang anak kecil sedang mengerjap-kerjapkan matanya dengan pasrah tanpa harapan. Sebulir air mata bening menggenang di sudut matanya yang bulat dan tanpa dosa. Dibeberapa sudut bibir dan hidungnya tampak krustae kering bekas lendir ingus yang menempel berhari-hari. Apabila tersentuh, kruste itu akan mengelupas dan mengeluarkan sedikit darah. Ia mungkin sedang tidur di atas dipan tua,lusuh berselimut sarung kakeknya yang gimbal dan bau. Mungkin nyamuk – nyamuk berseliweran sambil kebingungan menyingkirkan udara Gucialit yang terlalu dingin untuk anak seusianya.
Suatu siang yang amat biasa dan nyaris tanpa kesan seorang wanita kurus datang mengunjungi poli umum tempatku mengabdikan ilmu di sebuah desa di kawasan Tengger Lumajang. Rambut lurusnya digelung dengan galau karena saking tipisnya. Kulitnya kecokelatan patologis, cokelat yang kering dan aneh. Sebagai dokter yang setiap hari bertemu beraneka macam pasien dalam kurun waktu sembilan tahun sejak kebebasan pers dirasakan oleh bangsa ini,aku sudah bisa memperkirakan penyakit wanita seumuranku ini. Sesi anamnesa yang menjadi momentum rutin tetapi langka karena merupakan the one and only dalam setiap episode ribuan tatap muka kulalui dengannya walau masih agak kaku dan formal. Ia agak tertutup. Apalagi bila kusinggung perihal kehidupan pribadi bersama suaminya. Tak sekalipun ucapan buruk mengenai suaminya meluncur dari mulutnya. Sekali waktu ego ku sebagai wanita keluar dengan mengeluarkan gaya pertanyaan investigative bak anggota Crime Scene Investigation (CSI). Mengerucutkan sebab dan akibat dari kenapa ia semakin kurus,batuk lama, diare terus menerus dan nafas ngos-ngos an. Kalau sudah seperti itu, aku akan mengeluarkan jurus pamungkas bertanya apakah ia mengeluarkan darah putih yang berbau dan apakah kehidupan seksualnya bermasalah. Ia akan diam terpekur,dan aku akan sibuk berdiri mencari alasan mengambil ini dan itu dengan sesekali melirik nya menunggu ia siap menjawab dan menerima pertanyaan selanjutnya.
Sesudah pertemuan pertama yang amat membekas itu, aku rutin menuliskan rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk wanita itu ke Poli Voluntary Consulting & Testing(VCT) . Pada tiga sampai empat kunjungan awal, aku minta tolong pada perawat ponkesdes desa setempat untuk mengantarnya, karena kondisi tubuhnya yang lemah dan ketidaktahuannya akan prosedur rumah sakit.
Lalu beberapa pertemuan berikutnya aku bertemu dengan wanita ini dalam kondisi yang lumayan bugar dengan senyum merekah. Ia menyodorkan hasil test HIV dan tertulis Reaktif Obrolan beralih pada cerita anaknya yang masih bayi dan dirawat oleh mertuanya. Sedangkan anak pertamanya ternyata kemudian terdaftar sebagai balita gizi buruk yang kami rawat. Ceritanya yang amat bersemangat membuatku tersenyum tipis. Jauh diruang hatiku yang jarang tersentuh, aku merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara harap dan cemas. Yang pada akhirnya aku telah dididik orang tua ku untuk meletakkan rasa yang aneh itu pada area antara tawakkal dan optimis.
Pada suatu pagi tanpa kesan berikutnya, aku bertemu dengan seorang pria bugar yang bicara dengan tegas dan sangat sumringah yang mengaku suami wanita ini. Setengah tak percaya aku minta dokumen kependudukan dan kartu JKN nya.Dan sambil melirik mengamati pria itu dari ujung rambut sampai kaki aku langsung bertanya berapa lama ia menikah dengan wanita ini. Yes,..clear ternyata ia teman hidup satu – satunya wanita ini sejak tujuh tahun yang lalu. Mukaku terasa ditampar berkali-kali, mengingat wanita itu. Hah…masak sih????....Suami wanita ini masih segar bugar sementara ia…..
Akhirnya pria ini aku rujuk pula ke VCT rumah sakit Kabupaten. Pada kunjungan bulan – bulan berikutnya mereka datang berdua dan kuanggap sambil kuhibur diriku sendiri bahwa mereka pastilah saling mendukung satu sama lain. Kondisi kesehatan si wanita ini naik turun pada kunjungan berikutnya . Sampai akhirnya si pria datang sendirian karena ternyata istrinya telah meninggalkannya selama – lamanya. Tanpa beban ia berpamitan padaku untuk kembali bekerja di Bali. Namun aku minta satu syarat bahwa ia harus membawa kedua anaknya terlebih dahulu untuk periksa ke VCT sebelum berangkat ke Bali. Di luar dugaanku ia langsung menuruti permintaanku begitu saja.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Kami melupakan kisah itu. Dan sebagai tim pelayanan kesehatan terpadu di Puskesmas kami mulai fokus pada status kedua anak balita dan bayi yang ditinggal bersama neneknya dengan berbagai macam program pemulihan gizi. Tak lupa dengan segala upaya celah pembiayaan kami kontrol kesehatan anak ini ke VCT tiap enam bulan sekali. Suatu hari aku bertemu dengan nenek kedua balita ini yang menceritakan bahwa ayah kedua anak ini sudah meninggal menyusul ibunya. Begitu cepat si Bapak menyusul isterinya ke alam baka. Sekitar satu setengah tahun sesudahnya. Aku jadi teringat nada intro lagu “ Kepastian” milik Reza Artamevia dan itu membuatku dadaku agak sakit menahan bulir air mata. Kata guruku saat aku duduk di bangku tua di gedung Universitas Kedokteran bergaya arsitektur Belanda di Surabaya , dokter tak boleh larut didepan pasien apalagi sampai mbrebes mili seberapapun mengharu birunya kisah pasien yang kita lihat dan kita dengar ,karena akan melemahkan semangat hidupnya. Tapi dokter harus empati terhadap pasien. Berada di area antara membangkitkan semangat dan menumbuhkan secercah harapan pada pasien bagaimanapun parah penyakitnya. Berada di antara keterbukaan akan penyakit, komplikasi yang akan mungkin terjadi dan menumbuhkan motivasi bahwa penyakit apapun bisa disembuhkan adalah sulit,…sangat sulit. Sesulit saat awal awal kita ditempatkan di pelosok desa,..sendirian ,,,tanpa sejawat dokter lain dan saat itu harus menyampaikan pada keluarga pasien bahwa upaya resusitasi jantung paru yang kita upayakan tidak berhasil,…dan kita akan mengucapkan kalimat , Dengan amat menyesal kami sampaikan bahwa keluarga anda telah meninggal dunia.” Kalimat rutin yang harusnya menjadi ringan karena sudah kita ucapkan ribuan kali. Tapi kenyataannnya tidak demikian. Dan dalam setiap lantunan doa sesudah sholat tak lupa aku selalu berdoa agar Allah senantiasa memudahkan lisanku untuk menyampaikan kebaikan pada pasien-pasienku.
Maka kalau sudah seperti itu aku akan pura –pura sibuk menulis apa saja sampai rasa sesakku hilang dan siap berkomunikasi lagi dengan keluarga pasien.
Dua setengah tahun sudah berlalu sejak kali pertama aku mengenal wanita ini . Kini kami diamanahi dua balita yang harus kami rawat dengan kemungkinan penularan HIV-AIDS. Menjaga gizinya, menjaga tumbuh kembangnya, sehingga apabila toh ternyata ada virus Human Immunodeffisiency Sindrome yang berhasil menyusup pada tubuh anak ini, mereka tidak sampai kalah. Kami juga harus ikut memikirkan bagaimana kondisi ekonomi kakek nenek mereka yang lemah tidak sampai membuat virus HIV bersekongkol dengan kemiskinan dan membuat dua balita ini terserang AIDS. Semua kami anggap menjadi tanggung jawab kami karena dua orang tua nya didatangkan oleh Tuhan di hadapan kami hingga mereka menghadap sang khalik. Kami akan bertekad memaksa stakeholder terkait untuk ikut memikirkan mereka, termasuk hak – hak sipil kedua anak ini.
Bagaimana saya bisa tidur lelap,..sebelum hak hidup , hak sehat dan hak bergembira mereka rasakan selagi menjadi anak-anak. Seperti kegembiraan yang saya rasakan saat masa kecil yang indah.
.Ima Rifiyanti –Ditulis dalam rangka memperingati hari HIV-AIDS sedunia,…jauhi penyakitnya jangan jauhi penderitanya. (Kasus yang diangkat adalah fiktif )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar