Kamis, 17 Agustus 2017

Dari Generasi ke Generasi

 
Memeriksa ibu hamil (bumil)dalam Ante Natal care (ANC) terpadu adalah tugas harianku disamping memeriksa pasien umum.
Ini bisa dilakukan di Puskesmas,di pustu, polindes , praktek pribadi dan bahkan di rumah pasien atau di tempat tertentu apabila diperlukan.
Singkatnya, aku bertugas memastikan bahwa bumil terlayani oleh bidan sesuai standar kebidanan,bumil resiko tinggi terdeteksi dini dan bumil dengan komplikasi terkawal &terpantau dengan cermat, yang pada akhirnya aku mengemban tugas besar pemerintah Indonesia agar tidak malu di mata dunia yang sempat menyebut bahwa kalau mau mencari kuburannya para Ibu, maka Indonesia lah tempatnya.
Dalam melaksanakan tugas, aku dibantu banyak pasukan, bidan &perawat desa, bidan koodinator, tenaga promosi kesehatan,nutrisionis, sanitarian,driver hingga Spesialis Kandungan & Kebidanan yang setia menerima dan menjawab surat konsulku.Walaupun capek, tapi aku menemukan keasyikan dibalik aktivitas ini, yaitu pada akhirnya aku bisa merekam wajah tiga generasi.
Suatu saat aku kedatangan bumil ,sebut saja Mariam. Usianya 28 tahun, 10 tahun lebih muda dariku.Ia memeriksakan kandungannya yang ketiga sementara anak keduanya berusia 7 tahun .Melihat usianya yang masih amat muda dengan penasaran kutanyakan apakah kehamilan ini diinginkan atau "kebobolan KB nya"  Ia menjawab mantap bahwa kehamilan ini sudah direncanakan. Suaminya adalah buruh serabutan. Tambah penasaran lagi kutanyakan ," Terus anak pertama sampean umur berapa sih ?"
Dengan entengnya Mariam menjawab , "Usia nya 15 tahun bu dokter"
Whattttt,..??aku kaget dalam hati," Itu artinya , sampean hamil anak pertama usia 13 tahun, baru lulus SD mbak?"
"Enggeh ,..bu dokter " Mariam menjawab dengan tenangnya. Seakan tak ada yang salah dari percakapan kami. Dan keesokan harinya Ibunya Mariam kebetulan berobat ke rumah dan bercerita bahwa anak pertama Mariam tidak melanjutkan ke SLTP dan memilih bekerja di kota.
"Oalah,...Kerja apa ya buk, lulusan SD gitu?" tanyaku pada Ibu mariam
"Nggeh buruh bu dokter,..." Ibu Mariam menjawab dengan tenang seakan tak ada masalah apapun dari apa yang diucapkan dan dilakoninya.
Ibuku lulusan SD. Ibuku berpesan padaku untuk punya kehidupan lebih baik dan bersekolah lebih tinggi sehingga Ibu mati-matian bekerja menguliahkanku hingga lulus menjadi seorang dokter. Aku kini seorang dokter,dan aku berharap anak-anakku mempunyai pencapaian lebih tinggi dari aku, terutama dalam memberi karya nyata dan kemanfaatan bagi masyarakat & bangsa. Kini aku mengahadapi 3 generasi yang stagnan, Dari seorang lulusan SD, mempunyai anak lulusan SD, dan cucunya lulusan SD.Terus terang aku menjadi risau dengan hal seperti ini.
Kapan hari, aku sempat berpartisipasi dalam program disnaker,yaitu membentuk shelter anak drop out sekolah. Ini semacam camp sebulan, yang membekali anak-anak drop out sekolah dengan latar belakang masing-masing agar termotivasi kembali mengikuti program KEJAR PAKET. disinilah aku tahu bahwa permasalahan anak-anak DO sekolah ini beragam & kompleks. Ada yang melarat,...... banget. Untuk ke SMP aja dia harus jalan kaki naik turun lembah berkilo-kilo. Karena anak perempuan , maka ia pulang pergi di antar ibunya. Menginjak kelas 3 SMP si anak menyerah karena tak tega melihat ibunya kelelahan.Saat anak ini rawat inap di puskesmas, aku bertemu dengan ayah ibunya.  Ku tanyaka n kenapa ndak naik motor kalau sekolah biar ngga ksampai drop out., dengan malu setengah menunduk ayahnya bilang bahwa ia belum mampu membeli motor. Dari memoriku melayani pasien, orang tua anak ini sangat sopan,jauh lebih sopan dari orang yang mengaku terhormat yang pernah kulayani di sebuah UGD RSU dan selalu protes mengancam lapor bupati bila dikenai biaya .Dan sempat-sempatnya ia bertanya dengan sopan saat akan keluar opname, total semuanya habis berapa bu dokter? Oalaahhhh,....
Dari permasalahan ini aku sempat  diskusi dengan tokoh masyarakat dan pengelola PKBM  setempat , sebenarnya ada solusi yang bisa  membiayai sekolah,seragam, buku dan lain-lain, tapi uang transport tidak ter cover sehingga si anak harus mau "mondok" di pesantren. Hal ini tak selalu disetujui orang tua.
Ada juga anak-anak yang DO ini lantaran orang tua nya tak mampu membelikan motor baru. Di wilayah pegunungan, motor memang transportasi andalan.
Balik lagi dengan fenomena Mariam dan anak-anak yang pendidikannya kurang. Berapa banyak hal ini terjadi di sekitar kita?Apakah program-program pemerintah sudah tajam menukik ke permasalah ini dan solusi yang ditawarkan sudah tepat sasaran? Tentu saya berharap keberadaan saya di wilayah ini bisa memberikan kontribusi pada mereka. Aku tak membayangkan sama sekali,harapan -harapan capres kita akan terwujud bila Mariam kembali mengkader keturunan baru lulusan SD.
Wallahua'lam bis Shawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar