Jumat, 07 Agustus 2015

KETIKA RUTINITAS MENJADI KARAKTER

Hari ini Ferdussi mendapatkan babak baru dari kegiatan latihan karate yang selama ini dilakukan. Ha tersebut adalah  terbentukya karakter siap mental dan fisik setiap saat dibutuhkan. Kesiapan ini adalah sebuah miniatur dari kebutuhan hidup yang ingin kami jadikan bekal untuknya kelak. Artinya, sesudah mendapatkan contoh nyata dalam dunia karate, hal itu akan kami transfer ke dunia nyata dengan harapan ia akan mudah memahami bahwa pendidikan karakter, akhlaq baginya bukan lagi sebuah instruksi tapi sebuah kebutuhan.Metode ini kami temukan secara tidak sengaja. 
Berawal dari padatnya kesibukan ayahnya di sekolah tempat mengajar, yang kebetulan sebagai pelatih karate Ferdussi . Kesibukan ayah membuat kami enggan dan malas untuk mengikuti kejuaraan nasional Piala Walikota Surabaya yang digelar pada 7 Agustus 2015 silam. Selain itu kami sebagai orang tua memang amat pemilih dalam mengikutkan Ferdussi dalam sebuah event turnamen. Kami punya pertimbangan sendiri dalam memilih turnamen yang diikuti, dan faktor - faktor apa yang mempengaruhinya.
Maka tak heran sepanjang 5 tahun Ferdussi belajar karate praktis hanya pernah mengikuti 9 kali turnamen.
Akan tetapi cerita berkata lain. Pada tanggal 4 Agustus kami memutuskan untuk mengikuti turnamen. Tanggal 5 Agustus bunda bertugas sebagai manajer, pontang panting melengkapi berkas persyaratan pendaftaran, daftar on line, minta surat rekom FORKI cabang, menyiapkan akomodasi transportasi dan lain-lain. Dari segi kesiapan , praktis ini adalah turnamen yang mana Ferdussi paling minim persiapan. Kami merasa tanpa beban , karena kali ini kita mengikuti turnamen relatif untuk having fun saja. Tanggal 6 pagi ayah dan kakak baru menemui ketua FORKI Lumajang, dan langsung mampir cukur rambut. Pada pukul 9 pagi Ferdussi dan ayah berangkat , turun gunung naik spin kesayangan, lalu menitipkan spin di penitipan sepeda di terminal wonorejo, dan berpindah naik bis patas.
Menunggu kedatangan kakak Ferdussi di rumah, hal yang selalu dipikirkan bunda adalah kesehatan kakak. Bunda tidak ada target apapun, apalagi kali ini kakak Ferdussi minim persiapan dan ayah menjajal KATA baru yang baru dilatih kurang dari seminggu yaitu UNSHU. Biasanya , masterpiece Ferdussi di final adalah bermain KATA GAN KAKU. Bunda pesimis, karena biasanya sebelum turnamen Ferdussi menyiapkan KATA untuk final dengan melatih gerakan 3 kali sehari selama satu bulan penuh, tapi kali ini Ferdussi baru berlatih UNSHU kira-kira 4 hari dan KATA itulah yang akan dipakai di FINAL bila tembus. 
Pada tanggal 7 Agustus bunda menunggu dengan cemas. Walau tanpa beban tanpa target, bunda selalu cemas bila kakak Ferdussi bertanding. Kecemasan bunda lebih memikirkan akan kesehatan kakak Ferdussi dan ketahanan mental dalam menghadapi kekalahan. Maka dari itu bunda jarang sekali ikut kakak Ferdussi bertanding ke luar kota.
Pukul 16.30 WIB kakak Ferdussi telpon mengabarkan bahwa kakak dapat juara 2, kalah dari atlit Kalimantan Selatan . Wah...bunda surprise dan hari itu bunda mendapat pelajaran penting dalam mendidik anak.
Bahwa, dalam mendidik karakter yang sulit dimengerti lewat teori, kata-kata , yang paling penting adalah MELAKUKAN nya. Dengan latihan konsisten baik ada turnamen ataupun tidak ada turnamen, FERDUSSI menjadi siap kapanpun bertanding, karena karate sudah menjadi refleks.
Pelajaran yang paling penting berikutnya adalah ,dengan tidak terlalu menyiapkan diri dalam mengikuti turnamen, kami dengan sendirinya menyisipkan pesan halus pada Ferdussi bahwa turnamen itu ngga penting-penting amat. Dan saat itulah kami bisa memasukkan wawasan ilmu hakikat dalam ilmu karate, dimana untuk anak usia 10 tahun tentunya tidak mudah menyisipkan sesuau yang bermuatan hakikat.
Satu hal yang menjerumuskan seorang anak yang diberkahi kejeniusan dalam bidang tertentu adalah, manakala dalam proses menjadi master super dalam bidang itu, ia terlena akan tujuan dan hakikat untuk apa hal itu dilakukan? apa dampak dan manfaat bagi dirinya, orang terdekat yang mengasihinya dan masyarakat serta umat. Dan lambat laun ia akan diperbudak oleh konsumen kesenangan dunia.
Lebih jauh bunda , yang walaupun bukan master dalam karate pernah mencetuskan kekhawatiran. Bahwa hedonisme sudah merambah ke segala arah, bahkan tidak muncul dalam bentuk yang glamour tapi muncul juga dalam wajah nyantri, alim, sporty dan nyeni. Seorang aktris yang merepresentasikan wanita musilmah berkecukupan malah merepresentasikan hedonisme,menjual produk fashion dan kosmetik puluhan juta rupiah. Dalam dunia karate, bunda berandai-andai dan memprediksikan 
Ferdussi (kanan) Bersama Muh. Fahri , sang juara dari Banjarmasin
jangan jangan 3-4 tahun ke depan kejuaraan karate diselingi musik, He,..he,..he...